Thursday, January 1, 2015

Empat Pertanyaan Hendri Tyas Waluyo Sebelum Memilih Islam







Ketika aku sedang serius menggeluti pencarian kebenaran ini, datanglah seorang teman yang kebetulan adalah seorang Muslim. Ia datang dan membawa Alquran lengkap dengan terjemahannya. Ia memintaku untuk membaca terjemahan isi Alquran agar aku lebih memahami Islam dari aspek kitab sucinya.

Aku pun mulai berpikir terbuka. Semua hal yang berhubungan dengan Islam atau Saksi Yahuwa aku kumpulkan dan aku baca serta aku renungkan, hingga hati kecilku meyakini dan membenarkan akan ajaran Islam. Hanya saja saat itu aku belum berikrar masuk Islam karena baru sebatas mengetahui bahwa Islam mengajarkan hal yang benar, saat itu tahun 2008.

Pada tahun 2009 aku pergi meninggalkan Bogor. Kota dengan julukan Kota Hujan ini ternyata tidak cocok bagi orang sepertiku. Aku harus pergi karena pekerjaan yang kulakukan di sana banyak berhubungan dengan dunia yang semu ini. Kemudian aku berpikir untuk pindah ke Cisalak.

Sejak meninggalkan Bogor, berbagai hal yang berkaitan dengan informasi ruhani terputus disebabkan situasi dan kondisi yang serba terbatas. Tahun 2010 aku berpindah lagi untuk yang kesekian kalinya. Hidupku benar-benar seperti kisah seorang pengelana yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Nomaden, tidak ada tempat untuk menetap. Di tahun inilah aku berpindah ke tempat kakak kandungku di Mampang Jakarta Selatan. Di situlah aku mulai membangun semangat beribadah yang selama ini mulai surut.

Aku yang masih beragama Katolik, terkadang bangun pagi-pagi untuk mengikuti misa harian atau misa pagi yang rutin dilakukan pukul 06.00 WIB. di gereja Santa Maria yang terletak di Blok Q. Di gereja, aku menuangkan segala pemikiran yang selama ini ada padaku. Sekalipun hati kecilku mengetahui bahwa ada kebenaran yang hakiki dalam kehidupan ini, namun aku masih menganut keyakinanku yang lama.

Keyakinan inilah yang selalu ditanamkan pastor kepadaku, dan kami semua. Inilah yang membuatku sulit untuk meninggalkan agama lamaku karena memang masih ada sisa-sisa keyakinan dalam diriku. Meskipun demikian, aku masih punya keyakinan akan kebaikan yang disebarkan oleh pastor kepada kami yang tidak mudah kami tinggalkan begitu saja, khususnya dalam beribadah yang sudah dibangun sejak kecil serta akan kenangan dalam didikan dan pengajarannya.

Pelan tapi pasti, mungkin inilah yang dapat ku katakan saat keyakinanku akan Katolik mulai berguguran. Pada Misa akhir pekan atau Misa umum, yang pada waktu itu banyak diisi oleh jemaat gereja, timbul pertanyaan kritis dalam benakku, khusunya mengenai adab umat Kristiani yang datang ke gereja. Sungguh berbeda dengan adab ketika umat Muslim berada dan beribadah di Mesjid.

Setidaknya waktu itu muncul empat pertanyaan dalam benakku; Pertama, mengapa di gereja ketika beribadah beberapa orang dari para jemaah sempat-sempatnya bermain handphone? Padahal mereka kan sedang berhadapan dengan Tuhan. Bila berhadapan dengan sang pencipta langit dan bumi saja sudah seperti itu, bagaimana ketika berhadapan dengan yang lain? Jika berhadapan dengan manusia bisa sesopan mungkin, sedangkan menghadap Tuhan tidak, maka sudah pastilah mereka merendahkan posisi Tuhan dibanding dengan manusia.

Kedua, mengapa para wanita yang pergi ke gereja banyak mengenakan pakaian yang kurang sopan, apakah Tuhan menyukai ketidaksopanan mereka dalam berpakaian? Lantas inikah yang diajarkan Tuhan kepada hamba-Nya? Sungguh ini adalah sebuah jalan menuju perbuatan dosa. Mereka yang datang dengan mengenakan rok mini dan pakaian ketat malah akan memancing penglihatan para laki-laki sehingga bukan malah beribadah, justru akan membuat mereka berpikiran yang tidak baik selama di dalam gereja.

Ketiga, mengapa ketika Misa ada yang mengobrol antara laki-laki dengan perempuan, sebenarnya niat mereka itu untuk beribadah atau hanya sarana agar bisa saling curhat di gereja? Jika gereja sama dengan tempat curhat, maka sudah barang tentu gereja akan berubah menjadi tempat hiburan duniawi yang nantinya akan mendatangkan berbagai mudarat bagi manusia.

Kempat, mengapa ibadah yang umat Kristiani lakukan itu cenderung pasif. Seperti tidak membawa dampak apapun dalam kehidupan sehari-hari.

Di gereja hanya bernyanyi, mendengarkan musik, dan jika ada juga mendengarkan khotbah. Ini seakan ada dalam sebuah pesta yang mana ada presenter, ada music dan ada nyanyian. Sungguh ini membuat hatiku bingung dan gundah gulana.

Beranjak dari berbagai pertanyaan inilah hatiku mengalami ketidakpuasan dalam beribadah. Aku mulai mengingat pembelajaran akan Islam yang mengajarkan doa dengan adab dan tata cara yang baik yang dapat menghindarkan diri dari berbuat maksiat.

Dari buku yang ku baca, Islam mengajarkan tata cara beribadah dengan baik. Dalam ibadahnya, umat Muslim ketika melakukan ibadah yang utama seperti salat, tidak pernah terlihat ada yang bermain handphone. Ini disebabkan jika seorang Muslim bermain handphone ketika ia sedang ssalat, maka batallah salatnya.

Jelas sekali perbedaannya, jika dalam kebaktian khususnya saat menyanyikan lagu-lagu keruhanian, tidak jarang banyak jemaah yang sibuk dengan handphone mereka. Tidak ada yang membuka aurat, karena itu juga akan mengakibatkan salat mereka tidak sah. Bahkan bila sedikit pun sudah pasti tidak akan sah salatnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Barisan antara laki-laki dan perempuan dibedakan ketika melakukan salat. Laki-laki berada menjadi imam di depan dan berturut barisan berikutnya juga laki-laki sedang kan perempuan berada di barisan setelah laki-laki. Sungguh inilah ibadah yang sebenarnya. Menghormati Tuhan karena Tuhan adalah pemilik semesta alam ini.

Jadi, cara beribadah seorang hamba harus benar-benar menunjukkan kemuliaan terhadap sang penciptanya.

sumber:republika

No comments:

Post a Comment